Wednesday, November 07, 2012

Memaknai Dialog Ibrahim

Saat Anda bersikap buruk karena memasuki percakapan krusial hal yang mestinya dilakukan adalah kembali kepada dialog yang sehat.

Percakapan paling krusial yang pernah ada dalam kisah manusia adalah dialog antara Ibrahim dan Ismail, pada 9 Dzulhijah 1800 tahun sebelum Masehi—jika kita mengambil cerita dalam Quran.
Ibrahim, nabi yang zuhud itu, dengan berat hati harus berbicara kepada anaknya, anak kesayangan, anak yang sudah lama diharapkan, anak yang lahir dari Siti Hajjar.
Tuhan, melalui Jibril, memintanya menyembelih Ismail. Semula Ibrahim tak percaya itu perintah Allah. Jibril meyakinkan bahwa itu permintaan spesial kepadanya. Bagaimana bisa? Di manakah keadilan? Bukankah Tuhan sendiri yang menunjukkan jalan kepada Hajjar, seorang budak yang dipilihkan Sarah, istri pertamanya untuk ia sunting?
Namun, ia akhirnya menempuh jalan itu. Percakapan krusial yang menegangkan itu diabadikan dalam Quran dengan sangat mengharukan. Dan percakapan krusial itu berlangsung beberapa detik. Ismail, anak 13 tahun itu, menjawab dengan tegas: “Kerjakan apa yang diperintahkan kepadamu, Ayah. Insyaallah engkau akan menjumpaiku nanti dalam kelompok orang-orang yang sabar.”

Ibrahim menaruh ujung pisau ke merih anaknya. Seketika Jibril mengirimkan seekor gibas yang besar. Ia menjelaskan bahwa Ibrahim dan Ismail telah lulus ujian yang paling luhur. Mereka lulus uji kesabaran. Domba besar itu sebagai gantinya. Dan umat Muslim kini memperingati kesabaran ayah-anak itu dengan merayakan Idul Adha. Dan mereka yang berada di Mekkah melempar batu untuk mengenang bagaimana Hajjar mengusir setan yang menggodanya agar menggagalkan apa yang akan dilakukan suami dan anaknya.

Bagaimana seorang Ismail bisa dengan tenang menjawab permintaan ayahnya yang gila dalam ukuran manusia normal seperti kita? Ismail memang calon nabi, yang tak punya pikiran atau motif duniawi dalam segala tindakannya. Jika kita pakai analisis “percakapan krusial”, Ismail telah sampai pada kendali diri.

Ia telah menguasai masalah yang timbul akibat perintah dalam mimpi itu. Ismail tak marah atau mengutuk ayahnya yang punya ide absurd itu. Ia menguasai inti masalah bahwa bukan kehendak ayahnya sendiri penyembelihan itu. Ismail telah melihat tatapan ikhlas di mata ayahnya, tatapan orang-orang yang sebenar-benarnya berserah diri.

Kita, manusia normal, jika bertemu dengan situasi krusial yang genting akan cenderung bertindak irasional dan buruk dan merasa telah melakukan yang benar dengan tindakan yang kita perbuat. Emosi melandasi tindakan kita itu, bukan logika dan nalar mengapa keadaan genting itu bisa timbul.
Ismail adalah contoh sempurna bagaimana tahap ketiga solusi “percakapan krusial” yang disodorkan Kerry Patterson, Joseph Greeny, Ron McMillan, dan Al Switzler dalam buku mereka; “Crucial Conversations - Tools for Talking when Stakes are High”. Menurut mereka, saat Anda bersikap buruk karena memasuki percakapan krusial hal yang mestinya dilakukan adalah kembali kepada dialog yang sehat.
Sikap Ismail ini yang membuat Ibrahim merasa tertolong dan kian teguh menempuh ujian. Tidak seperti kita kini, Ibrahim saat itu tak tahu jika mimpi itu adalah tes kesabaran. Apa jadinya jika Ismail ikut tegang dan menolak permintaan ayahnya? Tentu tidak akan ada dialog yang tenang. Dalam percakapan krusial di organisasi kita, di rumah kita, di tempat keseharian kita, lawan bicara yang tetap tenang akan mendorong kita tetap mengedepankan akal sehat.
Di kehidupan sehari-hari, sikap buruk dalam percakapan krusial muncul dalam bentuk penolakan tanggung jawab, keras kepala, defensif, diam, atau sikap-sikap yang kian menjauhkan kita dari inti masalah yang harus dipecahkan. Alih-alih bisa mengurai masalahnya, ketegangan muncul pada cabang lain, pada jalan yang bukan kita buat menuju solusi dari masalah yang menjadi sumber percakapan krusial kita.
Hal-hal itu juga bisa muncul karena prasangka yang keliru. Setiap kita menafsirkan apa yang orang lain katakan dan perbuat. Kita menebak tentang makna di baliknya, lalu kita menyimpulkan, kemudian mengambil sikap atas dasar tafsir itu. Prasangka itu bisa salah, bisa benar.
Namun ketimbang menebak-nebak, baiknya komunikasi yang mesti diutamakan. Dengan dialog yang sehat kita akan kembali menemukan masalah yang harus dihadapi. Dan, bisa jadi, masalahnya bukan anda, tapi situasi sehingga anda tak perlu merasa bersalah dan tertekan. Kondisi tertekan biasanya diciptakan oleh para pelaku percakapan krusial.
Ada beberapa solusi yang bisa ditempuh agar para aktor itu tak melenceng dalam menghadapi percakapan krusial. Pertama, memisahkan fakta dari asumsi. Fakta itu kejadian, ada kenyataannya, ada bendanya, ada hal yang bisa diukur atasnya. Sedangkan asumsi adalah apa yang kita pikir atas fakta itu.
Solusi ini menekankan agar kita memiliah mana prasangka kita (yang bersumber dari pikiran kita), mana fakta yang kita hadapi. Asumsi kerap kali menjauhkan kita dari fakta yang sebenarnya. Sebab satu fakta bisa ditafsir dengan triliunan asumsi.
Solusi kedua adalah “mewaspadai muslihat cerdik”. Ada tiga tipe para muslihat: muslihat korban. Tipe ini biasanya mengatakan, “Ini bukan salah saya.” Mereka tidak mau disalahkan untuk kerja yang salah lalu menujuk orang lain yang harus bertanggung jawab. Muslihat kedua adalah muslihat pihak yang buruk. Cirinya menyalahkan orang lain dan kualitas buruk orang lain.
Muslihat ketiga tidak berdaya, yang menyerah sebelum mencapai solusi. Tiga muslihat ini akan menjadi racun dalam percakapan krusial. Percakapan akan gagal, alih-alih mendapat solusi. Solusinya adalah menghindari terjebak pada tipe muslihat.
Kemahiran ketiga adalah menjadi kontributor. Kita tak bisa menjadi korban jika ingin mendapat solusi. Komunikasi aktif dalam organisasi adalah solusi kemacetan percakapan krusial. Kuncinya adalah mengubah dari ketakberdayaan menjadi berdaya, apapun upaya berdaya itu. Tanyakan, “apa yang pura-pura saya tak sadari mengenai peran saya dalam masalah itu?”
Ismail tak sampai pada kemacetan percakapan. Karena itu cerita Qurban begitu agung dan menggetarkan.
*Partner, Dunamis Organization Services



0 comments:

 
;