Tuesday, February 21, 2006

Terkait Tujuan Hidup

Begitu pentingnya kebahagiaan bagi setiap orang. Dalam setiap momen penting dalam kehidupan seseorang selalu hadir ucapan-ucapan semacam "Semoga bahagia!"
Orang yang masih bertanya-tanya kapan datangnya kebahagiaan berarti masih berharap dan biasanya sudah memiliki asumsi-asumsi kondisi seperti apa yang membahagiakannya.
Suatu asumsi mengenai kebahagiaan sering kali dikaitkan dengan cita-cita (tujuan hidup). Sesuai dengan kemungkinan-kemungkinan kognisi publik setelah membaca otobiografi Leni Marlina, ada yang berasumsi akan bahagia kalau sudah "berkepribadian" (punya rumah, mobil, yang serba pribadi) atau sudah menjadi kaya raya.
Ada yang merasa akan bahagia bila telah mencapai kedudukan tinggi atau memiliki kekuasaan. Ada yang mengira akan bahagia kalau menemukan pasangan hidup yang penuh pengertian. Sementara yang lain merasa akan bahagia kalau dapat menjadi orang yang berguna (sering dikatakan ingin berguna bagi nusa bangsa, negara, dan agama, mirip Sumpah Palapa milik Patih Gadjah Mada).
Empat contoh anggapan yang ada dalam masyarakat tersebut semuanya bersifat sangat subjektif, terkait dengan nilai-nilai kehidupan yang dianut yang akhirnya menentukan motif yang dominan dalam diri seseorang.
Dengan demikian muara kebahagiaan tiap-tiap orang tampaknya tidaklah sama. Belum lagi bila menengok bagaimana cara yang ditempuh oleh tiap-tiap orang untuk mencapai kebahagiaan yang diangankannya. Banyak orang yang semakin kurang sabar, memilih jalan pintas sikut sana sikut sini. Wah!
Kalau begitu kita dapat membayangkan situasi manusia berebut kesempatan, saling menyalahkan, saling tuduh selama tujuan hidup masing-masing belum tercapai. Tiap-tiap orang membangun menara kejayaannya sendiri-sendiri.
Khususnya dalam tiga asumsi yang pertama, mengenai harta kekayaan, kekuasaan, dan dimilikinya pasangan dengan kriteria tertentu, merupakan contoh proyek menara kejayaan yang dibangun dari sesuatu yang sifatnya eksternal (yang perolehannya tergantung pada objek di luar dirinya).
Anggapan yang menyandarkan kebahagiaan pada faktor eksternal merupakan anggapan yang paling berisiko bagi kedamaian dunia. Karena memungkinkan tidak dapat lagi berkomunikasi satu sama lain karena mereka telah membangun menara kejayaan sendiri yang sangat berlawanan dengan kehendak Tuhan.

0 comments:

 
;