Tuesday, May 02, 2006

Aku dan Yang Lain sebagai Manusia

Manusia sering mengatakan bahwa hidup itu tak pasti, sehingga muncul pameo:"Satu-satunya kepastian dalam kehidupan, adalah ketidakpastian itu sendiri". Tetapi, seberapa beranikah manusia dalam menghadapi ketakpastian yang merupakan kesejatian hidup itu?. Manusia juga sering mengatakan bahwa "Individu itu unik" sehingga manusia selalu berbeda satu sama lain, bahkan pada anak yang kembar identik sekalipun. Jika memang demikian, maka akan ada "keunikan" sebanyak jumlah manusia yang pernah hidup di dunia ini. Tetapi, kembali muncul pertanyaan: "Seberapa manusia mampu menghadapi dan menerima kenyataan akan adanya keunikan yang begitu luas itu?"

Dalam sejarah perjalanan hidup manusia, lebih banyak orang-orang yang tak berani menghadapi ketakpastian hidup serta tak mampu menghadapi dan menerima luasnya keunikan tersebut. Mulai dari skala besar, seperti pertikaian antar etnis, agama, negara, dan peristiwa-peristiwa lain; hingga dalam relasi keseharian seperti: persahabatan, pacaran, diskusi, debat di milis. Manusia-manusia ini cenderung berlindung di bawah konsep "AKU" dan tak berani menghadapi "YANG-LAIN" (the Other), sang kemungkinan-kemungkinan dalam hidup itu sendiri, yang membuat hidup lebih hidup tapi juga membuat hidup disadari dalam ketakpastiannya. Mereka berlindung di balik teks-teks, agama-agama, institusi-institusi dan identitas-identitas semu lainnya yang mereka letakkan sebagai penjamin hadirnya kepastian dalam hidup.

Manusia juga tak mampu menghadapi dan menerima kenyataan luasnya keunikan orang lain. Manusia seperti ini berpegang pada AKU dalam interaksinya dengan Orang Lain (YANG-LAIN, the Other). Aku mau menikah denganmu karena kamu seiman dengan AKU. Aku berinteraksi denganmu karena aku ingin meng-.....-kanmu ......merubahmu menjadi seperti AKU. Aku jatuh cinta padamu karena AKU melihatmu sama dengan AKU; dan karena berangkat dari konsep AKU dalam berintsraksi dengan orang lain, maka AKU akan menilai, memperlakukan orang lain seperti AKU menilai dan memperlakukan AKU sendiri. Pola relasi seperti inilah yang juga sering berimplikasi pada timbulnya "luka" ketika AKU dipaksa menghadapi kenyataan bahwa YANG-LAIN tak mengikuti sebagaimana yang AKU ingini, yang AKU yakini, yang AKU anggap benar. Timbul kebencian karena YANG-LAIN ternyata tak bisa menjadi milik AKU.

Dalam sebuah relasi, YANG-LAIN sama sekali bukan AKU-YANG-LAIN. Ini adalah kesalahan dari ajaran yang mengatakan "perlakukanlah orang lain seperti kamu memperlakukan dirimu". Jelas jika tiap individu adalah unik, tak mungkin memperlakukan orang lain seperti aku memperlakukan diriku. Aku harus terus menerus melihat orang lain dan menghargai dalam kemajemukan. Hanya dengan itulah keharmonisan antara AKU dan YANG-LAIN dapat tercipta. Ketakharmonisan kehidupan yang terjadi belakangan ini, adalah karena ketakmampuan melihat segala sesuatu dalam kemungkinan (sebagai implikasi ketakpastian) dan kemajemukan (sebagai implikasi keluasan keunikan yang ada), mulai dari peristiwa pengeboman di Bali, Kartun Nabi, Foto Anjasmara, polemik RUU Pornografi hingga isyu Mujahidin berniat menyerang Bali. Pertengkaran, perselisihan dalam skala yang lebih kecil, seperti di dalam pertemanan, rumah tangga, kasus-kasus perceraian, hingga debat di milis juga berawal dari ketakmampuan (atau ketakberanian)
melihat segala sesuatu dalam kemungkinan dan kemajemukan ini. Banyak orang karena berpatokan pada AKU, lantas berusaha mengajak orang-lain untuk masuk dalam kepercayaannya. Lebih parah lagi, berpatokan dengan AKU orang lantas berusaha menghukum orang lain yang tak sejalan dengan AKU. Mengapa timbul ke-AKU-an yang menafikkan hadirnya YANG-LAIN?

Bahwa dua kesejatian, yaitu ketakpastian dan keunikan. Manusia pada dasarnya hidup dalam ketakpastian. Kenapa bisa dikatakan demikian? Manusia, sebenarnya tak tahu ada di mana dia sebelum dilahirkan dan akan ke mana dia setelah kematiannya. Begitu lahir, sebenarnya manusia memulai perjalanannya menuju kematian. Orang Jawa mengatakan: "Urip mung mampir ngombe" (Hidup hanya seperti mampir minum). Jadi, sebenarnya hidup itu tampak seperti perjalanan kesia-siaan belaka, yang tak tahu asal dan tak tahu ke mana. Dari sesuatu yang tak diketahui menuju ke sesuatu yang tak diketahui pula. Dari ketiadaan menuju ketiadaan. Pun perjalanan itu sendiri penuh berbagai kemungkinan. Nah, bisa dibayangkan betapa sia-sia dan tak pastinya hidup manusia.

Manusia banyak yang tak tahan menghadapi ketakpastian dan ketaktahuan akan hidupnya. Itulah sebabnya ramalan-ramalan laris, psikotes-psikotes dijadikan acuan, ruang-ruang konseling baik di media atau pun ruang praktek digemari banyak orang, agama-agama dan berbagai khotbah dianut dan didatangi banyak orang. Manusia tak bisa menghadapi ketakpastian, ia tak tahan, bahkan takut. Lalu dihadirkan penjelasan-penjelasan yang sifatnya absolut untuk memberikan sesuatu yang seakan memberi kestabilan pada titik-titik tertentu. Kita mengenal itu dalam term-term seperti: Akal Budi, Rasio, Hati nurani, suara hati, iman dan sebagainya. Orang juga sering menggunakan hal-hal seperti: Sumpah, takdir, ayat, perintah Allah, sabda, dan sebagainya untuk sekedar memberi adanya suatu kepastian. Tapi apakah itu semua memang memberikan kepastian? Sayangnya tidak. Banyak kejadian menunjukkan bahwa manusia bisa melakukan sesuatu yang tak bisa diterima untuk dikatakan bahwa ia adalah manusia berakal budi, berasio, bernurani, mengikuti suara hati, bertuhan, dan sebagainya.

Manusia juga banyak yang tak menyukai hadirnya keunikan di hadapannya. Mengapa? Karena keunikan akan mengacaukan dan membuat kestabilan yang telah disusunnya dari hal-hal absolut mengalami kegoncangan. Ini karena keunikan akan memaksa manusia untuk menyadari bahwa apa yang telah disusunnya untuk menjelaskan dunia, menjadi tidak berfungsi di hadapan Sang Keunikan itu. Maka, manusia lantas merasa perlu menghilangkan keunikan itu dengan membuat orang lain menjadi aku atau seperti aku. Bahkan bila perlu menghukum atau melenyapkannya. Inilah sumber dari banyak permasalahan bagi kehidupan manusia.

Apa yang hendaknya kita sadari dalam kehidupan ini? Pertama, di atas segala bentuk-bentuk kepastian yang telah diajarkan kebudayaan pada kita, terimalah ketakpastian hidup itu terlebih dulu. Senyumilah ketakmungkinan. Bersahabatlah dengan ketakpastian, karena di dalamnya ada kemungkinan. Dalam kesia-siaan perjalanan hidup manusia dari sesuatu yang tak diketahuinya menuju sesuatu yang juga tak diketahuinya, ketakpastian hadir menemani untuk memberi pada manusia kemungkinan, tempat kita bisa meletakkan harapan. Harapan hanya akan hidup dalam relung-relung kemungkinan dan kepekatan ketakpastian. Kedua, selamilah ketakberhinggaan keunikan YANG-LAIN, karena dalam ketakberhinggaan itulah kita mampu mentransendensi kehidupan kita. bukan ditemukan dalam kesamaan-kesamaan semu yang sekarang coba banyak dipaksakan, namun dalam perjumpaan-perjumpaan kita dengan YANG-LAIN dan bagaimana kita melihat bahwa pada setiap perjumpaan YANG-LAIN selalu menyampaikan pesan kehidupan bagi kita, diri kita yang kontekstual dengan peristiwa kehidupan kita masing-masing. Ketiga, dalam ketakpastian dan keunikan yang bisa kita terima, lihatlah bahwa kemudian hidup kita layaknya karya seni. Ya, karya seni, yang akan selalu kita apresiasi keindahannya setiap kali kita melihat, mendengarkan atau merasakan karya itu. Dengan demikian, hidup bukanlah kesia-siaan namun selalu berada dalam kebaruan dan pertumbuhan, tak lagi mati dalam ilusi-ilusi akan kepastian dan kesamaan.

3 comments:

Tup Tup said...

Panjang ngagebay siga oray.. tunduh macana ge ah...

zhieepiee said...

iya gue juga males bacanya!! (bener ga sih artinya kira2 gitu yah tup??!)

Tup Tup said...

Iya iya semacam itu artinya..

 
;